Minggu, 21 November 2010

50% Tayangan Anak Masih Membahayakan

Lifestyle » Family » 50% Tayangan Anak Masih Membahayakan

50% Tayangan Anak Masih Membahayakan

Senin, 22 November 2010 - 09:59 wib

Anak menonton tayangan televisi ditemani orangtua. (Foto: Getty Images) TELEVISI menjadi salah satu hiburan yang difavoritkan bagi anak, namun sayangnya, belum semua tontonan di televisi menyajikan tayangan yang aman. Malah survei AGB Nielsen menyebutkan, 50% tayangan televisi anak belum aman.

Terbatasnya lapangan bermain serta minimnya hiburan anak menjadikan tayangan televisi sebagai sebuah hiburan favorit bagi anakanak. Ketua Umum Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), B Guntarto menyebutkan, data AGB Nielsen 2008 bahwa berdasarkan survei komposisi penonton televisi menurut usia, penonton usia 5 sampai 15 tahun menempati porsi yang cukup besar, yaitu hampir 30%.

“Anak-anak Indonesia bisa dibilang memiliki waktu luang yang banyak untuk menonton atau menikmati televisi,” ucapnya dalam acara jumpa pers sekaligus peluncuran film Paddle Pop Elemagika yang diadakan oleh Wall’s Paddle Pop, Senin beberapa waktu lalu.

Guntarto mengatakan, tercatat dalam seminggu, anak-anak Indonesia menonton rata-rata 35 sampai 45 jam atau 1.560 sampai 1.820 jam setahun. Jauh sekali jika dibandingkan dengan jumlah jam belajar mereka yang tak lebih dari 1.000 jam setahun. Sementara untuk tayangannya, 80 judul program anak ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam per minggu (168 jam).

“Angka tersebut jauh lebih besar dibanding jam belajar mereka di sekolah dasar negeri yang hanya sekitar 800 jam per tahunnya. Karena jika hari sekolah banyak liburnya, maka menonton televisi bagi mereka tidak pernah libur,” kata Guntarto.

Akses anak-anak pada berbagai media semakin besar.Teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih, semakin murah, dan makin mudah didapatkan, termasuk oleh anak-anak dan televisi menjadi salah satu hiburan yang dirasa cukup murah dan mudah dijangkau oleh mereka. Namun yang harus menjadi perhatian adalah isi media yang sebagian besar berupa hiburan yang tidak aman dan tidak sehat untuk anak-anak.

Disebutkan dalam lima tahun terakhir ini jumlah produksi film Indonesia meningkat rata-rata 43%. Pada 2009 tercatat jumlah produksi film Indonesia sebanyak 78 judul film layar lebar (bioskop), namun sangat sedikit yang khusus ditujukan untuk anak.

“Sedikit sekali tayangan yang aman bagi anak, walaupun meningkat, tetapi 50% tayangan anak masih belum aman,” tandasnya.

Padahal anak berhak mendapatkan informasi dan hiburan yang sehat untuk meningkatkan kehidupan sosial, spiritual, dan moralnya. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 17 Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child - CRC).

Pemenuhan hak anak tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara negara, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, keluarga, orangtua, dan anak itu sendiri.

Sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak-anak memiliki kecenderungan untuk meniru apa saja yang mereka lihat dari lingkungannya tanpa mempertimbangkan apakah hal tersebut baik atau tidak, akan merugikan atau tidak.

Hal ini terjadi karena anak-anak belum cukup memiliki daya pikir yang kritis sehingga mudah percaya dan terpengaruh oleh isi dan materi media yang dikonsumsi. “Itu sebabnya, mereka memerlukan hiburan yang khusus dibuat untuk anak,hiburan yang memperhatikan berbagai kebutuhan mereka,” sarannya.

Sulit memang menemukan program TV yang benar-benar kondusif untuk perkembangan mental, moral, dan jiwa anak-anak kita. Dalam hal penayangan tontonan di televisi, terdapat tiga kategori penayangan, ada kategori aman, hati-hati, dan bahaya.

Kategori aman merupakan kategori tayangan yang bukan hanya menghibur bagi anak, namun juga memberikan manfaat lebih, seperti pendidikan, memberikan motivasi, mengembangkan sikap percaya diri anak,dan penanaman nilai-nilai positif dalam kehidupan.

Nilai-nilai yang sering ditampilkan beberapa di antaranya adalah persahabatan, penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kejujuran, dan lain-lain.

Sekalipun dikatakan “aman”, sebaiknya orang tua tetap melakukan pendampingan untuk membantu anak-anak memahami berbagai hal dan memberi penekanan pada hal-hal positif agar dapat lebih dipahami dan diingat anak.

“Pendampingan juga diperlukan untuk meningkatkan kedekatan orangtua dan anak,” ungkap Guntarto.

Untuk tayangan yang masuk dalam kategori hati-hati, relatif seimbang antara muatan positif dan negatifnya. Sering kali isi media yang masuk dalam kategori ini memberikan nilai hiburan serta pendidikan dan nilai-nilai positif, namun juga dinilai mengandung muatan negatif, seperti kekerasan, mistis, seks, dan bahasa kasar yang sekalipun tidak dominan.

Pendampingan lebih diperlukan pada anak yang mengonsumsi media dengan isi yang masuk dalam kategori ini karena anak-anak membutuhkan orangtua untuk memberikan pemahaman penekanan yang baik mengenai muatan positif dan negatif yang ditampilkan.

“Orangtua diharapkan dapat membantu anak untuk mencontoh hal-hal yang positif dan menghindari muatan negatif dalam kehidupan nyata saat mendampingi anak menonton tayangan yang masuk dalam kategori anak ini,” pesannya.

Sementara pada tayangan yang masuk dalam kategori bahaya merupakan tayangan yang isinya mengandung jauh lebih banyak muatan negatifnya, seperti kekerasan, mistis, seks, bahasa kasar, ataupun cerita yang rumit dibanding muatan positifnya.

Muatan negatif dalam tayangan yang masuk dalam kategori ini frekuensi kemunculannya cukup tinggi sehingga keberadaannya bukan lagi dimaksudkan untuk mengembangkan cerita, namun sudah menjadi inti atau bagian utama.

“Acara TV seperti ini jelas tidak disarankan untuk disaksikan oleh anak. Bila pun anak sudah cukup besar, kami menyarankan pendampingan orangtua dilakukan untuk membentengi anak dari efek negatif yang ditampilkan oleh tayangan tersebut,” ungkapnya.

Brand Manager Wall’s Paddle Pop, Riri Odang mengatakan bahwa penyediaan alternatif hiburan yang mendidik (educative entertainment) untuk anak-anak Indonesia sekaligus mengangkat hasil karya anak bangsa akan terus ditingkatkan oleh Wall’s Paddle Pop, di antaranya dengan menghadirkan Paddle Pop Elemagika.

“Elemagika merupakan film animasi petualangan ketiga setelah penayangan dua film animasi petualangan sebelumnya, Pyratadi tahun 2008, dan Kombatei di tahun 2009. Kami harap tokoh Paddle Pop Lion dan Liona yang sudah sangat dikenal oleh anak-anak Indonesia dapat membawa pesan-pesan cinta lingkungan, kerja sama, dan persahabatan melalui Paddle Pop Elemagika,” ucapnya.(SINDO//nsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar