Jumat, 19 November 2010

Bullying, Mengapa Sampai Terjadi?

Lifestyle » Family » Bullying, Mengapa Sampai Terjadi?

Bullying, Mengapa Sampai Terjadi?

Jum'at, 19 November 2010 - 10:21 wib

Remaja alami bullying. (Foto: Getty Images) PENELITIAN terbaru menunjukkan, kejadian bullying terjadi murni karena pikiran jahat seorang pelaku, juga perilaku ”berbeda” yang ditunjukkan si korban. Karena itu, orangtua musti lebih waspada mengawasi buah hatinya.

Kekerasan yang terjadi antarteman di sekolah atau biasa dikenal sebagai bullying masih saja terjadi. Korban-korban pun terus berjatuhan. Perilaku seperti ini tak hanya mengarah ke kekerasan fisik, tapi juga mental, verbal, psikologis, emosional, dan seksual.

Intinya, bullying merupakan sebuah bentuk intimidasi yang dilakukan terus-menerus dengan tujuan menyakiti orang lain. Lalu, mengapa seorang remaja melakukan tindakan negatif tersebut? Sebuah studi terbaru di Swedia berusaha membuka tabir soal ini.

Hasilnya terungkap, baik pelaku maupun korban bullying memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dibandingkan teman lain di lingkungan sekitarnya. Kesimpulan studi ini dipublikasikan online dalam jurnal yang diterbitkan oleh Springer bertajuk Child & Youth Care Forum.

Menurut pemimpin studi ini, Dr Robert Thornberg dan Sven Knutsen dari Linkoping University di Swedia, studi ini juga menghasilkan data sekitar 42% dari partisipan menyalahkan korban yang akhirnya menyebabkan terjadinya bullying.

Dalam studi ini, Thornberg dan Knutsen berusaha mendengarkan penjelasan remaja mengapa melakukan itu dan berusaha memahami tindakannya, baik sebagai pelaku ataupun pengamat saja.

Para peneliti juga ingin mengetahui remaja yang memiliki atribut atau bertingkah laku seperti apa yang akan terlibat bullying. Dari sini, ternyata terdapat banyak perbedaan jawaban dan alasan bergantung pada pengalaman remaja partisipan itu sendiri.

Perbedaan jenis kelamin juga ternyata berpengaruh saat memutuskan siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini, apakah pelaku atau korban. Sebanyak 176 siswa sekolah menengah atas yang berusia antara 15 dan 16 tahun di Swedia berpartisipasi dalam studi ini.

Mereka mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman kejadian bullying di sekolah mereka (baik sebagai penonton, korban, dan atau pelaku), serta penjelasan mengapa sebenarnya bullying itu bisa terjadi.

Peneliti menemukan bahwa 69% dari siswa partisipan menyebut penyebab bullying itu tindakan jahat si pelaku. Para penganiaya tersebut mengalami semacam kelemahan batin (misalnya rasa tidak aman dan rendah diri) dan keinginan mereka untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka, status, dan popularitas di sekolah.

Itu adalah dua alasan paling umum yang diungkapkan para korban bullying. Menariknya, 42% di antara remaja tersebut justru menyalahkan korban kekerasan dan penyimpangan mereka dari norma yang biasa berlaku di masyarakat (misalnya terlihat berbeda atau disebut aneh) sebagai alasan mengapa bullying bisa terjadi.

Sebaliknya, hanya 21% dari remaja yang mengatakan bahwa penyebab bullying adalah karena tekanan teman satu geng di sekolah, 7% karena peraturan sekolah yang terlalu longgar, dan sisanya menyebut karena sifat manusia atau sosial pada umumnya. Remaja perempuan sendiri lebih banyak menyalahkan pengganggu daripada korban bullying.

”Remaja menjelaskan kejadian bullying lebih signifikan karena sifat individualistis, yaitu pelaku atau korban yang harus disalahkan. Sementara kalau perilaku non-individualistis biasanya teman sebaya, sekolah, atau masyarakat yang harus disalahkan,” kata Thornberg.

”Temuan ini memiliki implikasi penting bagaimana upaya pencegahan dan intervensi yang dirancang untuk mengurangi kejadian bullying di kalangan anak-anak dan remaja. Konsep pencegahan bullying harus menyelidiki dan menargetkan pada remaja sebagai penyebab utama terjadinya bullying,” lanjutnya seperti dikutip medicalnewstoday.com.

Lalu, sebagai orangtua, bagaimana menghadapi anak sendiri yang menjadi korban bullying atau bahkan jadi pelaku?

”Ambil napas dalam-dalam dan jangan panik,” saran Sally Kuykendall PhD, asisten profesor bagian pelayanan kesehatan di Saint Joseph’s University di Philadelphia, Amerika Serikat.

”Lawanlah perasaan untuk membela diri dengan menolak bahwa itu ‘bukan anak saya’. Pahami bahwa anak Anda mungkin sedang dalam ujian perilaku,” terangnya.

”Orangtua perlu mengajarkan keterampilan sosial kepada anak, meskipun kekerasan yang terjadi pada mereka sudah ataupun belum terekspos di media, di lingkungan rumah, atau di masyarakat,” kata Kuykendall.

Dia menyoroti kebutuhan bagi orang tua untuk melakukan percakapan secara intens dengan anak mereka dan tetap berlanjut secara terus-menerus.

”Lawan segala penolakan. Jangan biarkan mereka untuk mengatakan bahwa kejadian tersebut ‘hanya bercanda’.Anda harus menetapkan batasan yang jelas dan konsisten. Biarkan anak Anda tahu apa perilaku yang dapat diterima atau tidak secara sosial. Jangan biarkan anak Anda menyalahkan si korban atau merasionalisasi tindakan negatif tersebut,” ujar Kuykendall.(SINDO//nsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar